Viral Kisah Misteri KKN Desa Penari Tahapan Ke Tujuh (7)


Meski awalnya Anton curiga, namun akhirnya ia percaya dan pergi. Setelah Anton pergi, Nur menatap tempat itu, ia menatap lama gapura kecil, sama seperti yang lain, ada sesajen disana, tidak hanya itu juga gapura itu di ikat dengan kain merah dan hitam, yang menandakan bahwa tempat itu sangat dilarang. Namun, insting rasa penasarannya sudah tidak tertahankan lagi, seperti memanggil.

Jalannya menanjak dengan sulur akar dan pohon besar di sana - sini, butuh perjuangan untuk naik, namun anehnya jalan setapak ini seperti sengaja dibuat hanya untuk satu orang, sehingga jalurnya mudah untuk di telusuri, menuerupai lorong panjang dengan pemandangan alam terbuka.

Nur menyusuri tempat itu, langit sudah berwarna orange, menandakan hanya tinggal beberapa jam lagi, petang akan datang. Meski tidak tahu apa yang Nur lakukan disini, namun perasaannya seolah terus menerus mendesaknya untuk melihat ujung jalan setapak ini, kemana ia membawanya.
Angin berhembus kencang, dan tiap hembusannya membawa Nur semakin jauh masuk kedalam, ia tidak akan bisa keluar dari jalan setapak karena rimbunnya semak belukar dengan duri tajam yang bisa menyayat kulit dan kakinya. Namun ia semakin curiga, semakin masuk, sesuatu ada di sana tetapi, ia harus kecewa. Ketika diujung jalan, bukan jalan lain yang ia lihat, namun, semak belukar dengan pohon besar menghadangnya, dibawahnya di tumbuhi tanaman beluntas yang rimbun, jalan ini, tidak dapat dilewati lagi.
Lalu, kenapa tempat ini seolah di keramatkan, apa yang membuat tempat ini begitu keramat bila hanya sebuah jalan satu arah seperti ini. Langit sudah mulai petang, Nur bersiap akan kembali, tetapi langkahnya berhenti saat ia merasa ada hembusan angin dari semak beluntas didepannya, iapun menyisir semak itu.

Nur melihat sebuah undakan batu yang di susun miring, ia tidak tahu, rupanya ia berdiri di tepi lereng bukit, meski awalnya ragu, Nur akhirnya melangkah turun, menjajak kaki dari batu ke batu sembari berpegang kuat pada sulur akar di lereng, ia sampai di bawah dengan selamat seperti dugaannya, ada tempat tak terjamah di desa ini, manakala Nur melihat dengan jelas, sanggar atau bangunan yang lebih terlihat seperti sebuah balai desa, namun kenapa tempat ini tidak terawat.
Nur berkali - kali melihat langit, hari semakin gelap, namun ia justru mendekat layaknya sebuah tanah lapang dengan bangunan atap yang bergaya balai desa khas atap jawa, Nur mengamati tempat itu setengah begidik. Selain kotor dan tak terurus, tidak ada apapun di sini, kecuali sisi ujung dengan banyak gamelan tua tak tersentuh sama sekali.
Butuh waktu lama untuk Nur mengamati tempat ini sampai ia mengambil kesimpulan, tempat ini sengaja di tinggalkan begitu saja, kenapa? Ia menyentuh alat musik kendang, mengusapnya, dan semakin yakin, tempat ini sudah sangat lama di tinggalkan.

Setiap Nur menyentuh alat - alat itu, ia merasa seseorang seperti memainkannya, ada sentuhan kidung di telinganya, Nur sendirian, namun ia merasa berdiri di tengah keramaian. Kegelapan sudah menyelimuti tempat itu, langit sudah membiru, namun Nur sudah merasa tugasnya belum selesai sampai Nur tersentak oleh sebuah suara familiar yang memanggil namanya.
Ketika Nur berbalik menatap siapa yang baru saja memanggilnya, Nur seperti patung melihat Ayu, berdiri dengan muka tercengang, dari belakang, munculah Bima, tidak kalah tercengang suasana menjadi sangat canggung. "Yu, Bim, kok kalian ada di sini?" Ayu dan Bima hanya mematung, tidak menjawab pertanyaan Nur sama sekali, hal itu membuat Nur mendekati mereka, melewatinya dan kemudian ia melihat ada sebuah gubuk di belakang bangunan ini.

Nur berbalik, ia kecewa "Bim, Abah sama Umi kalau tahu perbuatanmu gimana ya, sebagai teman lamamu, aku tidak menyangka hal ini sama sekali" Bima hanya diam, Ayu, apalagi. "Nur tolong" ucap Ayu, menyentuh lengan Nur, "aku gak bicara sama kamu yu, aku hanya mau bicara sama Bima".
Tatapan Nur membuat Ayu beringsut mundur, Bima masih diam, sebelum Nur akhirnya menggampar tepat di pipinya Bima. "sudah berapa kali?" tanya Nur. "Kedua kalinya" Nur tidak tahu harus berucap apa, "tunggu, ini artinya, apa yang dikatakan soal dia dengar suara perempuan di kamarmu itu kamu sama Ayu?!!

Namun, Bima menatap wajah Nur dengan kaget, tidak hanya itu, Ayu juga terperangah tidak percaya, kemudian menatap Bima dengan sengit, seakan Nur salah bicara. "Maksudnya Nur?" tanya Ayu kaget. "Bim jangan bilang kamu!!" "Sudah, ayo kembali dulu, nanti tak ceritakan semua, tolong jangan ngomong ke siapa - siapa dulu, ya Nur"
Nur, Ayu dan Bima pergi. Wajah Bima tegang, seakan ia di kejar sesuatu, sehingga akhirnya ia keluar dari tempat itu, langit sudah gelap gulita, dan Nur, merasa ada yang mengikuti mereka semua. Setelah sampai di rumah, Nur meminta Bima dan Ayu berkumpul di belakang rumah, sementara Anton menghisap rokok di teras, sedangkan Wahyu dan Widya, belum juga pulang, mereka tidak tahu masalah ini, karena Nur merasa hal ini memang tidak seharusnya di ketahui semua orang.

"Sekarang ceritakan, saya mau dengar, kok bisa ya teman KKN bisa dihajar seperti ini" ucap Nur. Ayu masih diam, ia masih memikirkan ucapan Nur yang tadi, dan akhirnya Bima pun ikut serta berbicara, "Khilaf aku Nur" kata Bima, seakan apa yang diucapkan dari mulutnya terdengar sepele. "Tidak bisa seperti itu, akan kubuat ramai nanti sama keluargamu laki - laki harus berani bertanggung jawab atas perbuatannya".

Ayu yang sedari tadi diam, kemudian bicara. Nur, tolong jangan dibuat ramai dulu, gimana coba reaksi semua orang " Ucap Ayu" aku akan tanggung jawab, Ayu akan saya nikahi habis sepulang dari sini. Goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir keluargamu, kalau memang cuma masalah pernikahan ya enak ya, tapi kalian lupa dengan yang namanya karma tabur tuai.

Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu, ada yang belum ia jelaskan sama sekali. Anton tiba - tiba muncul sambil mengatakan, "Itu loh, dua temanmu sudah datang, entah darimana, masa pulang sampai selarut begini" "Widya sama Wahyu ya Ton?" Anton mengangguk.

Nur melihat Widya, wajahnya tampak letih, seperti baru saja mengalami kejadian tidak mengenakan, semua orang sudah menunggu kedatangan dua anak ini, yang berjanji akan membelikan keperluan titipan mereka, namun, dari belakang, Wahyu tampak sangat bersemangat.

Entah karena suasana hati semua orang buruk di ruangan itu, Bima mencoba mencairkan suasana, "loh ko kaku ngene seh" (Ko jadi canggung gini sih) Bima mendekati Widya, "kamu pasti kecapean kan, yo istirahat dulu Wid" kata Bima.
Namun Nur dan Ayu, memandang sengit perlakuan Bima, sehingga Widya merasa ada yang salah dengan mereka semua. Namun, Wahyu yang sedari tadi menggendong isi tasnya, langsung mengambil ahil perhatian mereka, dengan nafas menggebu - gebu, ia bercerita pengalamannya yang baru saja di tolong oleh warga desa tetangga karena motornya mogok, namun anehnya semua orang memandang Wahyu dengan mata tatapan sinis.

Bima yang pertama menanggapi ucapan Wahyu. "Desa tetangga apa, gak ada lagi desa di sini?" kata Bima mengingatkan. "Halah bohong kamu, tau darimana?" sanggah Wahyu saat itu. "Aku sudah sering ke kota, bantu warga jual bahan alam di sini, jadi ya tau sedikitnya daerah ini" "bohong kamu dasar, sial"

Nur yang sedari tadi mendengar, membantu Bima, "bener mas Wahyu, gak ada lagi desa di sini" alih - alih setelah mendengar itu, Wahyu semakin tidak terima, ia kemudian memanggil Widya, "Wid tunjukin oleh - oleh yang di kasih tadi sama warga dalam tas mu"

Dengan enggan Widya membuka isi tas nya, Wahyu yang sudah tidak sabar segera merebutnya, meraihnya dengan tangannya namun, eksfresinya berubah manakala ia mengeluarkan barang itu. Widya yang melihat benda itu sama kagetnya dengan Wahyu, namun Nur yang melihatnya nampak bingung, dengan semua orang saat itu, benda seperti apa yang di bungkus dengan pelepah daun pisang seperti itu.

Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yang salah saat Wahyu membukanya, kaget, yang ada di dalamnya rupanya adalah kepala monyet yang terpenggal dengan darah yang masih segar. Seketika, reaksi semua orang membalikan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan menjadi mual.

Wahyu tampak shock, Widya apalagi, Ayu segera membopongnya masuk ke dalam kamar, sementara Bima dan Anton segera membereskan semua itu. Wahyu, ia muntah sejadi - jadinya, semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur dimana Widya mencuri pandang malam setelah Widya dan Ayu melepas penat, Nur terbangun, tiba - tiba ia teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tampa sengaja ia curi dengar.

Dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. Ia merasa, benda itu di sana. Nur membongkar semua benda - benda itu, namun tidak ada yang aneh, toh dia sudah mengeluarkan isi tasnya, sebelum Nur sadar, masih ada ressleting tas yang belum ia buka, tepat ketika Nur membukanya ia bisa mencium aroma wewangian di dalamnya.

Sebuah selendang hijau milik penari tiba - tiba, tangan Nur seperti gemetar hebat, nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan - akan menjadi sangat dingin dan tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan berkumandang, Nur tahu si penari ada di sini, apa yang Ayu sebenarnya lakukan dan apa juga yang Bima sembunyikan? Tepat saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke dapur matanya tajam menatap Nur, kaget setengah mati Nur bertanya kepada Widya.

"Ngapain kamu Wid, ada di sini?" namun Widya hanya berujar "jangan diteruskan" Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesannya, itu khas jawa yang sekali sampai Nur tidak mengerti. Yang Nur tangkap hanya kalimat "salah" "nyawa" "tumbal" itupun tidak jelas selain itu. Setiap dia melihat Nur, ia seperti memberikan ekspresi sungkan, seperti anak muda yang memberi hormat kepada orang tua.

Kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah, "kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin" tapi dengan logat jawa. Nur membereskan semuanya saat itu juga, ia mengembalikan tas Ayu pada tempatnya, sempat ia melihat Widya yang tengah tidur, ia mengurungkan niat untuk membangunkannya, esok, ia harus bertemu dengan Bima, Nur yang paling sadar tempat ini sudah menolak mereka semua.

Sejak insiden itu, Ayu menghindari Nur, terlebih Bima apalagi, meski begitu tidak ada yang nampak bahwa mereka sedang memiliki urusan, Widya, Wahyu, dan Anton pun dibuat tidak sadar, bahwa ada permasalahan internal pada kelompok KKN mereka.

Nur bingung, tidak ada yang bisa untuk di ajak berbagi, kecuali Mbah Bhuyut, namun ia tidak tahu dimana beliau tinggal, Nur sudah mencoba mengelilingi desa, namun tak kunjung ketemu juga sosok lelaki tua itu, sehingga akhirnya Nur berinisiatif menyelesaikan ini sendiri, ia menemui Bima sore itu, mengajaknya ke tepi sungai.

"Ceritakan yang gak bisa kamu ceritakan di depan Ayu" Bima tampak menimbang apakah ia harus bicara atau tidak sampai akhirnya ia menyerah dan mengatakannya. "Aku khilaf Nur" kata Bima, "benar - benar ya" bukan, bukan itu, aku memang khilaf sudah melakukan itu sama Ayu, tapi aku lebih khilaf sudah mencoba membuat Widya suka sama aku.
"Maksud?" tanya Nur penasaran. "Di tempat yang kamu datangi ada penjaganya seorang perempuan cantik, namanya Dawuh" "Jin" tanya Ayu, tidak tapi manusia". "Mana ada itu jin" terjadi perdebatan sengit antara Nur dengan Bima, dengan bersikeras Bima mengatakan yang ia temui seorang perempuan warga desa ini.

Namun, Nur membantah tidak ada yang tinggal disana, lagi pula tempat itu dilarang sejak awal, namun, Bima terus menolak tanpa sampai tak sengaja, menampar Nur hingga terseok, di tepi sungai. Nur pun menghujani Bima dengan batu, seakan - akan kepala Bima sudah tidak beres, sampai akhirnya Bima mengatakan, "perempuan itu sudah memberiku semacam mahkota putih yang ada di lengannya, yang katanya itu bisa membuat Widya selalu nempel sama aku".

Nur yang mendengar itu semakin tersulut, "bodoh ternyata kamu ya, belum 4 tahun sudah rusak isi kepalamu, yang kamu lakukan itu menyekutukan Bim", " dimana sekarang barang itu?" tanya Nur, "dibawa oleh Ayu, katanya sudah hilang" "aku tidak perduli bagaimana caranya, kembalikan barang itu, kamu gak mengerti perbuatanmu, bisa mendatangkan malapetaka".
Nur pergi, sekarang, ia tahu harus kemana. Menemui Ayu. Nur baru saja bertemu dengan Ayu setelah keluar dari rumah Pak Prabu, Nur tidak mengerti apa yang baru saja ia lakukan. "Ngapain kamu?" Ayu mencoba menahan malu, setiap kali melihat Nur, mata Ayu seperti meratap atas apa yang sudah ia perbuat, dan itu fatal.

"Gak apa - apa Nur, aku percepat urusannya, biar anak - anak semuanya bisa fokus garap proker mereka, kuta juga harus kembali, intinya fokus dulu sama KKN ya". "Aku mau ngomong Yu, soal kata Nur yang terhenti melihat Anton mendekat, nafasnya terengah - engah". "Nur, warga yang bantu proker kita kerasukan, rusak semua proker kita".

Ayu, Nur dan Anton pergi ke lokasi, waktu itu ramai, dan ketika Nur tiba, seorang pria yang di pegangi oleh warga, tampak melotot melihat Nur, ia menunjuk Nur seakan biang masalah di desa ini, ia menyentak dengan suara yang keras. "Tamu sudah di hormati malah se enaknya saja, kesini kamu kesini!!" Nur kaget, ia di lindungi warga lain, tidak hanya pria itu, ada satu lagi, yang juga di tahan, sayangnya, pria yang satu lagi, melotot pada pria pertama, seakan ia marah pada warga desa itu. "Saya sudah berjanji sama seseorang untuk jaga anak ini, kamu tidak boleh membuat masalah sama dia".

Warga yang resah akhirnya membawa Nur ke rumah mereka, berikut Ayu dan Anton, di ikuti yang lain, kecuali Widya. Saat Wahyu di konfirmasi, dimana Widya, Wahyu mengatakan Widya sama warga lain melanjutkan prokernya, tidak ada yang tahu mereka ada di salah satu rumah warga, namun ketika langit mulai petang, Nur hilang dari kamarnya, warga yang tahu panik terakhir kali Nur pingsan.

Nur terbangun dalam keadaan menggunakan mukena solat dan ada Widya di sampingnya, namun, wajah Widya tampak tegang, Widya tidak bisa menyembunyikan bahwa ia baru saja mengalami kejadian janggal. "Sejak kapan kamu bisa lihat yang begituan?" Nur yang mendengar itu kaget, sejak kapan Widya tahu dan bertanya soal itu. Mereka terjebak dalam suasana canggung. Nur jadi berfikir, bahwa kunci semuanya, mungkin ada pada Widya, sejak awal, Widya yang paling aneh di tempat ini.

"Aku gak bisa menjelaskan secara spesifik, tapi aku merasa begini sejak mondok, yang jelas, ghaib itu nyata Wid". "Kamu ada yang jaga ya?" tanya Widya, yang membuat Nur semakin kaget, bingung harus menjelaskannya, ia harus mengingat sebelum keluar dari pesantren, banyak temannya yang bilang setiap malam, Nur terbangun dan melapadzkan doa yang bahkan sangat susah di hafal oleh santri pondok saat itu.

Teman - temannya sampai memanggil guru mereka, agar Nur di ruqiah, namun guru Nur menolak, beralasan bahwa selama tidak mengganggu keimanan Nur, dan di biarkan saja, daripada menjadi bomerang bagi Nur bagi dirinya sendiri, bahkan guru Nur sendiri sudah berulang kali menjelaskan bahwa ia harus tetap mengimankan kepercayaannya, tidak pula perlu memperdulikan jin model apa saja yang mengikutinya selama ini.

Si guru memanggil jin itu dengan nama "Mbah Dok" karena berwujud seorang nenek tua. Tanpa Nur sadari, itu adalah pertama kali ia bisa bicara lagi dengan Widya setelah sekian lama, ia seolah saling menjauhi satu sama lain, Nur menceritakan semua pengalamannya di pondok hingga ia keluar darisana, kecuali, insiden ganjil di tempat ini, Nur masih menyimpannya sendiri.

Karena Nur percaya, Widya punya apa yang ia cari selama ini, meski itu hanya asumsi, namun ia yakin bahwa Widya pasti memilikinya. Hingga kesempatan itu muncul, Nur melihat kamar, tanpa ada satu orangpun, Ayu dan Widya mengerjakan proker mereka, Nur membuka almari, mengeluarkan isi tas Widya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam