Viral Kisah Misteri KKN Desa Penari Tahapan Ke Lima (5)

Mereka semua berkumpul menjadi satu, di depan sebuah sanggar besar, ada alunan musik gamelan, yang mengalun merdu, tepat di tengah sanggar, ada sosok penari yang sangat cantik.

Tidak pernah tahu, ada tempat seperti ini di desa ini, sebelumnya ia memang tidak mengikuti Pak Prabu saat mengajak semua rombongan temannya berkeliling kampung, maka saat itu Nur hanya berpikir, di tempat inilah warga kampung mengadakan hajatan.

Nur masih belum menyadari, kenapa dan bagaimana ia bisa sampai di sana, yang ia tahu, ia tersesat sampai akhirnya berakhir di tempat ini.

Ketika Nur tengah asyik menikmati pertunjukan itu, tiba - tiba, terdengar sayup seseorang berteriak, anehnya, hanya Nur yang merasa mendengarnya teriakan pilu, meminta tolong, Nur pun meninggalkan keramaian itu, matanya awas, mencari sumber suara yang meminta tolong itu,

Naas ketika Nur tengah berjalan, ia terpelosok jatuh dari sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, mencoba bangkit, Nur merasakan kalo kakinya tidak bisa di gerakan seolah - olah mati rasa. Saat itulah Nur melihatnya.

Se ekor ular tengah menatapnya, ia mendesis membuat Nur hanya bisa terpaku melihatnya.

Sisiknya hijau zambrud, meski ukurannya tidak terlalu besar, ular itu cukup membuat Nur ketakutan, dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhinya. Masalahnya, adalah, setelah itu, muncul orang yang Nur kenal, sosok yang berjalan mendekati Nur, Widya,

Widya memeluk ular itu, seperti peliharaannya, membiarkan ular itu, melilit tangannya seakan - akan ular itu adalah temannya.

Melihat itu, Nur tidak tahu harus bicara apa karena setelah itu, Nur tersentak dari tidurnya setelah mendengar suara bising dari luar rumah.

Meski masih dalam keadaan shok, Nur segera berlari ke arah suara bising itu, rupanya, diluar rumah, ramai orang tengah banyak berkumpul. Nur melihat Wahyu, Ayu, Ibu pemilik rumah, Widya. Entah apa yang mereka lakukan, Nur belum mengerti sama sekali.

Yang ia dengar hanya ucapan ibu pemilik rumah. "Wes, wes, ayo ndok, melbu ndok, wes bengi" (Sudah, sudah, ayo masuk, sudah malam)

Ketika mata Nur dan Widya bertemu, ada tahapan kebingungan di sana. Wahyu kembali ke posyandu tempat ia menginap, sementara si ibu pemilik rumah, menggandeng Widya masuk ke rumah, hanya tinggal Ayu dan Nur yang ada di luar rumah.

"Onok opo toh yu, kok rame men?" (Ada apa sih yu, kok berisik sekali?) Wahyu jrene ndelok Widya nari nang kene, mboh lapo, aku yo kaget pas ndelok, gak onok Widya nang kamar" (Wahyu bilang, melihat Widya sedang menari di sini, entahlah kok bisa, aku juga kaget waktu melihat Widya tidak ada di dalam kamar)

Nur yang mendengar itu, hanya diam sembari memikirkan mimpinya. Widya, hanya itu yang terbesit dalam pikirannya Nur. Ia tahu, ada yang janggal dari dirinya, Widya dan tempat ini.

Ke esokan hari sesuai dengan janji yang Nur buat, dia bertemu dengan Mbah Bhuyut dengan Pak Prabu, kali ini, Nur di ijinkan untuk masuk kedalam rumahnya. Yang Mbah Bhuyut pertama ucapkan adalah "Ndok, mambengi ngimpi opo?" (Nak, semalam kamu mimpi apa?)

Nur pun menceritakan semuanya, termasuk insiden disaat ia melihat Widya yang dipergoki Wahyu tengah menari di malam buta.

Mbah Bhuyut hanya mengangguk, tidak berbicara, ia hanya berujar bahwa yang ingin diketahui Nur, adalah sosok hitam yang mengikutinya. Malam itu juga Pak Prabu, Mbah Bhuyut, dan Nur pergi ke sebuah batu, tempat pertama kali Nur melihat sosok itu.

Bersama Pak Prabu menggosok se ekor ayam. Darahnya di tab di sebuah wadah, sebelum menyiramkannya di batu itu. "Ndok, awakmu percoyo, nek gok alas iki, onok deso maneh, sing jenenge Deso Brosoto" (Nak, kamu percaya, di hutan ini, ada desa lain yang namanya desa halus)

Nur mengangguk, ia percaya. Mbah Bhuyut tersenyum, "sing bakal mok delok iki, siji tekan atusan ewu wargane deso iku" (Yang akan kamu lihat sebentar lagi, itu satu dari ratusan ribu penghuni dari desa tersebut)

Nur terdiam mendengarnya, dan benar saja, ia bisa melihat sesosok makhluk hitam itu, tengah menjilati batu yang baru saja di guyur dengan darah ayam kampung itu. Makhluk itu, hanya menjilati batu itu, kemudian, Pak Prabu mengatakannya.

"Awakmu sadar utowo gak, asline, awakmu gowo barang alus sing di anggap tamu nang deso iki, gowo alus'e ngunu yo ndok" (Kamu sadar atu tidak, sebenarnya membawa tamu ke desa ini, cara gampangnya gitu). "Tamu sing mok gowo, iku ngunu seneng ngejak geger ambeh warga deso iki" (Tamu yang kamu bawa itu, suka sekali membuat masalah di desa ini)

"Masalahe, sing mok gowo iku wes di kunci nang njero Sukmo mu, nek di jopok, awakmu isok mati" (Masalahnya, barang itu sudah melekat di sukma kamu, bila diambil bisa mati)

"Aku wes ngerembukno karo Mbah Bhuyut, nek arangmu ga usah di jopok, tapi, di culno, awakmu masih onok nang kene, barangmu kepisah ambek awakmu" (Aku sudah berunding dengan Mbah Bhuyut, bila apa yang ada dalam diri kamu, gak usah di ambil, tapi, dilepaskan saja. Selama kamu masih di sini, dia tidak akan pergi jauh)

"Barang nopo to mbah?" (Barang seperti apa?) Mbah Bhuyut mendekati Nur, sebelum, menarik ubun - ubunnya, kemudian melemparkannya ke batu itu. Setelah itu, Nur tidak bisa melihat makhluk hitam itu lagi.

"Wes mari ndok, sak iki, awakmu iso fokus garap tugasmu, gak bakal onok sing ngganggu maneh" (Sudah selesai nak, sekarang, kamu bisa fokus pada tugasmu, gak akan ada yang ganggu kamu lagi)

Siang itu, Nur dan Anton sedang mengerjakan proker mereka bersama warga desa, ketika hari sudah siang, ia tanpa sengaja melihat Widya dan wahyu, serta Pak Prabu dan Ayu tengah mengendarai motor, mereka pergi meninggalkan desa, entah kemana.

"Nur, kancamu iku loh kok aneh seh" (Nur, teman mu itu kok aneh sih) tiba - tiba Anton mengatakan itu. "Aneh? Sopo?" (Aneh? Siapa?) "sopo maneh, kancamu, Bima" (Siapa lagi, temanmu Bima)

"aneh yo opo?" (Aneh bagaimana?) "aku gelek ndelok cah kui ngomong dewe, nganggu - ganggu dewe nang kamar, terus sepurane yo nur, aku to ndelok arek Onani" (Aku sering melihat anak itu sering berbicara sendiri, tersenyum - senyum di kamar, bahkan, aku pernah melihatnya, mohon maaf ya Nur, anak itu Onani dalam kamar)

Nur yang mendengar itu tidak bereaksi apapun hanya berucap "halah, gak mungkin lah" seakan apa yang dikatakan oleh Anton hanya gurauan. "Temen?, sumpah!!" (Serius? Beneran!!)

Ambek, ojo ngomong sopo - sopo yo, temen yo, tak kandani" (Sama, tapi jangan bilang sama siapa - siapa ya) "kancamu kui, geleh gowok muleh sesajen, trus, di deleh nang nisor bayang'e" (Temanmu itu, sering membawa pulang sesajen, terus dia menaruh benda itu di bawah ranjang)

Aku masih mencoba menahan diri, ia masih tidak bereaksi mendengar Bima di tuduh seperti itu oleh Anton. Namun, seketika emosi Nur tak terbendung saat Anton mengatakan itu.

"Trus, nang ndukur sesajen iku, onok fotone kancamu, Widya, opo Bima kate melet Widya yo" (Terus di atas sesajen itu aku menemukan foto temanmu, Widya, apa Bima mau pelet si Widya ya). "Awakmu gor di jogo yo lembene, ojok maen fitnah yo" (Kamu itu, tolong dijaga mulutmu, jangan maen fitnah seperti itu)

"Nek awakmu gak percoyo, ayo tak jak nang kamare, ben awakmu ndelok, nek aku gak mbujuk" (Kamu kalo gak percaya ayo sini ikut, tak tunjukan kalau aku tidak pernah berbohong).

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam