Seputar Cerita Horor Hantu Itu Ada "Hantu Penggemar Bakso"

Tiga hari lalu aku mudik, kangen dengan suasana Jogja. Kebetulan, malam Jumat lalu giliran adikku jaga kampung, Jadilah aku temanin dia.

Setelah ngobrol ngalor - ngidul, kesana - sini, sampailah kami berlima bersama Pak Tatang, Pak Andi, Pak Deni, dan Aku beserta adikku masuk kepada pembicaraan yang seram - seram, termasuk pada pengalamanku ketika masih remajra dulu.

Dari Pak Tatang lah aku tahu, bahwa Pak Enang, salah satu preman kampung yang sangat disegani di kampungku sudah meninggal dunia. Bukan karena digebukin orang kampung, atau ditembak polisi, melainkan gantung diri, karena hubungannya dengan seorang gadis perempuan tidak di restui oleh ibunya, orang tua satu - satunya. Sebetulnya mereka berempat, termasuk adikku agak enggan ketika kutanya tentang sebab - sebab meninggalnya Pak Enang tersebut, bahkan klik langsung terlihat gelisah, dan sekali - sekali ia menatap ujung gang dengan wajah agak pucat.

Dengan sedikit berbisik, Pak Andi  menatapku serius, "Bang, cerita yang lain saja ya!", katanya kepadaku.

Adikku pun mendukungnya, namun aku tetap ngotot. "Ada apa sih, kalian kaya di uber setan saja?", tanyaku sambil mengambil tempe goreng kesukaanku.

"Bukan begitu bang..!", kata Pak Andi menatapku serius.

"Suasana kampung ini lho baru saja pulih....", timpal Pak Deni sambil membetulkan sarung nya.

"Pulih dari apa?", tanyaku heran.

"Ya.... dari teror hantunya Pak Enang itu...", kata adikku sambil menatap lagi ujung gang dengan penuh kekhawatiran. Jujur saja aku baru melihat wajah adikku segelisah itu, biasanya anak itu luar biasa beraninya.

"Besok pagi aja aku ceritain tuntas!", kata Pak Deni sambil beranjak pergi.

"Eh tunggu dulu, mau kemana?" tanya ku.

"Tidur, ngantuk nih...", katanya sambil ngeloyor pergi.

Tak lama kemudian juga, Pak Andi juga pamit pulang. Jadilah Aku, Adikku, dan Pak Tatang lah yang jaga kampung sampai pagi.

**********

Siangnya, pukul 10 aku sudah bertandang ke warung sotonya Pak Deni, penasaran pengen tahu ada peristiwa apa di kampungku pasca meninggalnya Pak Enang, preman kampung itu. Kebetulan di situ juga ada Pak Tono, tukang bakso langgananku.

Pak Deni yang melihat kedatangananku, langsung berkata, "Tanya saja sama Pak Joko, biar semua jelas", dengan gayanya yang bikin sebel.

Pak Joko yang ditembakpun menjadi kecimpuhan, "Cerita apa mas?", katanya sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Itu lho Pak tentang Enang!", kata Andi kembali menimpali.

"Wah, yang lain saja to mas Harry, saya lho masih trauma", katanya sambil nyengir.

Waduh gawat nih, mereka berdua saling lempar tangan, tentu ada yang tak beres. Pantesan tadi malam ibu ku agak khawatir ketika kami berdua pamit mau jaga kampung.

Setelah kurayu - rayu, akhirnya Pak Joko berani untuk bercerita.

"Sudah sebulan lebih saya libur jualan mas, karena di Gunung Kidul baru panen, sehingga saya tidak tahu perkembangan terbaru kampung ini", katanya sambil menghisap rokok kretek kesukaannya.

Malam itu, hujan dari pagi hingga sore hari belum juga reda. Tidak seperti biasanya sampai jam 21.30 baksoku belum laku seporsipun. Wah alamat pulang dengan tangan hampa nih, gumamku sambil mengusap muka dari tetesan air hujan. Dengan agak malas, aku kembali memukuli mangkok baksoku. Pas dipertigaan Kemandungan, terdengar suara serak - serak basah, "Bakso tiga mangkok bang....!".

Meskipun duduk membelakangi, tapi aku tahu persis bahwa itu Enang, preman kampung yang biasa sering meminta baksoku gratisan. Waduh apes nih! Dagangan belum laku sudah dipalak, batinku. Daripada kenapa - kenapa, langsung kubikinkan tiga porsi bakso pesanan Pak Enang itu. Setelah racikan siap, langsung dengan tergopoh - gopoh aku mengantarkan pesanan itu. Anehnya, meskipun bakso sudah kusodorkan, namun ia tetap duduk membelakangiku dan tanpa menoleh dia langsung menyantap baksonya dengan lahap.

Aku agak heran, biasanya tingkah Pak Enang endak karu - karuan bila sedang kumat premannya, entah mengosak - ngasik dagangan baksoku, atau memukuli mangkok bakso sekeras - kerasnya sampai pecah. Tapi malam itu ia diam saja, bahkan cenderung amat diam. Akupun ikut diam sambil menghisap sebatang rokok. Aku duduk membelakanginya.

Nah, tak seberapa lama terdengar suara beratnya, "Baksomu kurang garam kang!!", katanya sambil meletakkan mangkok keras - keras. Aku kaget dan spontan berdiri berhadap - hadapan. Betapa kagetnya aku melihat Pak Enang dengan bajunya berlumuran darah, dan ada benang tali yang mengikat lehernya, sementara matanya melotot dengan lidah menjulur, persis korban gantung diri! Mataku langsung berkunang - kunang dan terasa gelap seketika.

Pas sadar, tahu - tahu aku sudah terbaring di pos dan di kerubuni sekelompok orang dan teman - teman yang biasa jaga kampung. Dengan terbata - bata aku menceritakan pertemuanku dengan preman itu, dan dari Pak Andi aku tahu bahwa Pak Enang telah seminggu meninggal dunia karena gantung diri di Pakuningratan. Begitu yanh saya alami mas, pungkas Pak Joko sambil menghabiskan sisa kopi yang tinggal ampasnya.

Pantesan, tadi malam teman - temanku tidak mau bercerita, karena hampir selama 40 hari arwah gentayangan Pak Enang menteror kampungku, dan baru reda setelah Kyai Ahmad melakukan yasinan selama tujuh hari di rumahnya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam