Seputar Cerita Horor Hantu Itu Ada "Kampung Hantu Tahapan 1"

Untuk mengisi libur panjangnya, Diki, Rido, Laras dan Meli, mereka mengadakan kemping ke Puncak Gunung Papandayan. Memang sudah jauh hari mereka berencana untuk kesana.

Diki pacarnya Laras, dan Rido pacarnya Meli. Dua pasangan kekasih itu sama - sama suka touring, suka tantangan dan sangat suka dengan suasana baru.

Terlihat mereka berempat sedang sibuk memasukkan barang bawaan kedalam bagasi mobil. Sesaat setelah beres mengepak semua barang, akhirnya mobil melaju kencang membawa ke empat muda - mudi itu.

Tiba di suatu Desa di kaki Gunung, mobil pun berhenti. Di Desa itu memang agak sepi. Mereka rencananya mau bertemu dengan Kepala Desa untuk menitipkan mobilnya, karena mobil gak mungkin bisa dibawa naik gunung dan jalan mobilnya pun cuma sampe Desa itu.

Sesaat mereka pada diam sambil melihat - lihat suasana desa yang tertata rapi. Rumah kayu yang saling berhadapan dengan rumah din - ding anyaman kulit bambu yang unik. Jalan kampung yang terjal berliku naik - turun. Dan di belakang kampung terlihat hamparan sawah nan luas menyusun ke bawah di tebing berbukit, menambah kesejukan panorama alam. Sesekali terdengar suara hewan dan binatang peliharaan saling bersahutan.

Selagi mereka merasakan suasana desa, terlihat ada seorang petani lewat.

"Maaf mang, saya mau nanya. Kalau rumah Pak Kades dimana ya?", Diki bertanya.

"Oh, tuh den yang pagarnya warna biru. Memangnya aden mau ngapain?", petani itu menjawab dan balik bertanya.

"Ini mang, kami hanya mau menitipkan mobil kami di sini, dan kami mau naik ke puncak gunung, mau kemping", jawab Diki.

"Og gitu. Oh iya den, hati - hati ya kalau kesana, ada hutan yang dipagar. Kalian jangan coba masuk ke hutan yang di pagar itu. Kalau mau kemping mah di luar pagar saja den. Kalau bisa agak jauh dari hutan itu, kan masih banyak tempat yang lain yang bagus", kata petani itu.

"Memang kenapa mang? Apa puncak gunung ini angker ya mang?", Meli yang sedari tadi mendengarkan pun akhirnya bertanya.

"Gak juga neng. Ya, hanya hutan itu aja neng. Hutannya gak luas, cuman sengaja di pagar oleh bapak kuncen Gunung Papandayan, dan ada larangannya masuk ke situ. Memang juga gak tau jelas apa sebabnya neng. Tapi yang pasti, semua warga di sini harus bilang ke setiap orang asing yang mendaki atau berkemping, supaya bisa mematuhi larangannya", tutur petani itu.

"Oh gitu ya mang?", kata Meli.

"Ya neng. Kalau gitu, mamang permisi dulu", kata petani itu.

"Iya mang. Terima kasih ya mang sudah mengingatkan", Diki menganggukan kepala sambil mengerutkan alisnya.

Mereka berempat saling bertatap - tatapan.

"Gimana nih Dik? Apa kita naik atau pulang lagi ke Jakarta? Masa iya kita pulang lagi? Lagian tuh si mamang nakut - nakutin kita saja!", Rido menggerutu heran.

"Ya, kita jadi kemping disana dong! Gak ada salahnya kita nurutin apa kata si mamang tadi. Kan si mamang juga gak melarang kemping disana. Si mamang hanya bilang jangan memasuki hutan yang di pagar saja kan. Udahlah, jangan pada parno kalian, mending sekarang kita temui dulu Pak Kades. Kita nitipin mobil sambil kita bahas kata si mamang tadi!", ucap kata Diki.

"Ya sudah kalau begitu. Gimana baiknya aja", Rido, Meli dan Laras pun pada menganggukan kepala.

********************

Setelah sampai di rumah Pak Kades, mereka pun mencoba mengetuk pintu. Ternyata Pak Kades sendiri yang membuka pintu.

"Maaf, apa benar ini rumah Pak Kades?", dengan nada sopan Diki bertanya.

"Iya saya sendiri. Ayo silakan masuk! Kita bicara didalam saja", dengan ramah Pak Kades mempersilahkan mereka masuk.

"Ada apa ya? Dan kalian darimana?", tanya Pak Kades.

"Kami dari Jakarta Pak. Datang kesini mau kemping di puncak gunung. Kalau gak keberatan, kami mau nitipin mobil kami di sini!", kata Diki.

"Oh tidak bisa! Tidak bisa didalam rumah maksudnya, he he he. Silahkan saja, pekarangan rumah saya luas kok. Kayanya untuk empat mobil juga masuk", seraya bercanda Pak Kades mengizinkan.

"He he hee .... Iya Pak, terima kasih sebelumnya. Kami cuma bawa satu mobil kok Pak", jawab Diki sambil tersenyum.

"Emangnya kalian cuma berempat? Apa yakin kalian gak takut kemping hanya empat orang?", tanya Pak Kades.

"Gak Pak. Kami sudah terbiasa kemping berempat kok", jawab Diki.

"Oh gitu. Oh iya satu lagi, disana kalian jangan mencoba masuk hutan yang di pagar. Entah apa alasannya, yang pasti itu demi keselamatan kalian. Kalau mau kemping lebih baik agak jauh dari hutan itu", tutur Pak Kades.

"Iya Pak. Kami sudah tahu dari Bapak tani yang lewat tadi", jawab Diki.

"Oh gitu. Ya sudah, selamat mendaki saja. Semoga kalian selamat sampai tujuan dan kembali lagi", kata Pak Kades.

Akhirnya mereka pun berpamitan untuk berangkat ke puncak gunung.

Langkah demi langkah terayun naik melewati bukit - bukit kecil, mendaki tangga alam dan bebatuan terjal nan curam. Sesekali mereka menghela nafas berhenti sejenak dan melanjutkan kembali.

Setelah lama di perjalanan, akhirnya mereka pun sampai ke puncak Gunung Papandayan. Rasa lega terlihat di wajah mereka.

"Sepertinya tempat ini cocok buat kita mendirikan tenda. Hanya tempat inilah yang dekat dengan air", kata Laras sambil melihat aliran air yang mengalir dari bebatuan.

Tak jauh dari tempat itu memang terlihat hutan yang dikelilingi dengan pagar.

"Dik, mungkin hutan itu yang Pak Kades maksud", Rido bicara sambil matanya melihat tertatap tertuju ke arah hutan itu.

"Iya Do, padahal hutannya gak ada yang aneh ya? Masih sama kok sama hutan yang lain", jawab Diki.

"Benar Dik. Mungkin warga desa aja yang penakut. Ya, mungkin di hutan itu ada ular atau hewan buas kali, makanya di pagar", kata Rido.

"Hus! Lu so tau! Diam lu! Di sini lu jangan asal bicara", kata Diki mengingatkan.

"Iya ya. Tapi Dik, apa gak terlalu dekat dengan hutan itu jika kita mendirikan tenda di sini?", tanya Rido.

"Gak apa - apa kayanya. Soalnya kita masih berada di luar hutan pagar itu. Lagian jarak kita kan masih jauh ke hutan sana", Diki meyakinkan Rido.

"Woy! kok pada ngobrol! Cepet dong bikin tenda, hari udah mulai sore nih!", Laras dan Meli teriak - teriak.

"Iya iya", sambil berpaling dari hutan yang sedari tadi dilihatnya, Diki dan Rido bergegas ke arah Laras dan Meli.

Karena memang mentari sudah terlihat mulai surut, akhirnya mereka pun berbenah membuat tenda. Setelah selesai kemudian mereka mengumpulkan kayu bakar.

Meli dan Laras membuka perbekalan makanan dari tas dan membagikannya.

Begitu menjelang malam, api unggun pun dinyalakan. Mereka berpasangan duduk di depan kobaran api. Diki yang memainkan gitar, terus bernyanyi memecahkan keheningan malam. Tawa canda, seru - seruan, ejek - ejekan dan banyolan terlontar dari ke empat insan yang sedang bersuka cita itu.

Sesaat sudut mata Diki menoleh ke arah hutan yang tadi di pagar.

"Kok? Itu ... Itu kan?", telunjuk jari tangan Diki menunjuk ke arah hutan itu, tanpa berkata jelas apa maksudnya.

Rido, Laras dan Meli pun melihat apa yang Diki tunjuk.

Sungguh mereka sangat kaget luar biasa. Di hutan yang berada didalam pagar itu terlihat banyak rumah, seperti suatu perkampungan. Nyala listrik menyinari setiap rumah seperti benar - benar ada penghuninya.

Mereka berempat pun mengerutkan kening.

Tiba - tiba Rido bicara, "Itu memang perkampungan! Mungkin tadi siang kita hanya melihat - lihat pohon besar tanpa melihat ke bawahnya. Sekarang terlihat, ya karena adanya lampu listrik yang menyala. Benar gak?".

"Iya sih. Tapi kita harus ingat sama ucapan Pak Kades dan petani tadi!", Diki menjawab sambil melirik ke arah Rido.

"Sudahlah, jangan terlalu di pikirin! Lagian tuh kampung emang seharusnya di pagar. Kalo gak di pagar, entar ada kecoa masuk terus lari - lari dan terbang dan menempel di kening! Liih takut!", Meli nimbrung, omongan nya gak jelas penuh candaan.

"Meli, serius dong! Kita mingkin lagi berhadapan dengan gaib tau!", Laras yang pendiam sedikit membentak Meli.

"Lagian kalian yang di bahas itu - itu mulu! Kita ke sini kan mau seneng - seneng, bukan mau uji nyali", Meli cemberut manja.

"Oya Mel, anter aku yuk! Aku gerah nih pengen mandi. Aku gak bakalan bisa tidur kalo belum mandi", Laras mengalihkan pembicaraan.

"Yaudah yuk! Aku juga mau mandi ah", Meli dan Laras pun beranjak menuju aliran air yang lumayan deras, kemudian mereka mandi.

Diki dan Rido masih tertegun. Sesekali mata mereka melihat ke arah kampung itu.

"Dik, lu berani gak mendekati kampung itu? Kita lihat di balik pagar aja untuk mencari tau. Tuh kampung beneran atau hanya hutan?", kata Rido.

"Saraf lu! Enggak ah!", Diki memalingkan wajah.

"Kenapa lu takut? Lagian kita kan gak masuk pagar, kita kesini kan mau mencari hal yang baru. Jarang - jarang loh ada kesempatan buat kita untuk tau kenapa dilarang keras masuk ke situ", bujuk Rido bersemangat.

"Gak ah! Lagian lu jangan main - main dengan hal yang kaya gini Do!", kata Diki. "Bukannya gue takut, tapi gue hanya ingin mematuhi peraturan yang berlaku", sambungnya.

"Alah, bilang aja lu takut! Gue penasaran Dik. Kalau lu takut, biar gue pergi sendiri aja ah. Gue yakin bahwa itu memang benar rumah penduduk sini. Gak ada angker - angker nya tau! Lu nya aja yang terlalu dramatis sama keadaan", kata Rido semakin bersemangat.

"Lu jangan terlalu kepo Do! Nih bukan Jakarta tau! Nih hutan, ingat lu...!!", kata Diki.

"Justru di Jakarta gak ada yang kaya gini Dik, makanya gue pengen cari tau", kata Rido.

"Cape ya ngomong sama elu, gak ada habisnya. Terserah lu ah mau gimana juga", Diki jadi merasa kesal kepada Rido, yang terus bersih keras ingin melihat ke perkampungan itu.

"Widih malah naik darah, biasa aja dong! Lagian kan gue cuma bercanda. Gue juga sama takut kali", kata Rido.

"Terserah lu ah. Ya sudah, gue mau mandi dulu, sekalian nyusulin cewe gue", Diki pun beranjak pergi.

"Tunggu, gue ikut!", Rido pun berdiri ikut lari mengejar Diki yang menghiraukannya.

Setelah mereka semua pada mandi, kemudian mereka kembali berkumpul di hadapan api unggun yang masih menyala.

"Kita masak dulu yu, nyiapin makan malam!", kata Meli sambil melihat Laras.

Akhirnya mereka pun masak makanan yang mereka bawa. Membakar ayam kampung, membakar ikan, sambal saus pedas serta makanan lainnya yang mereka bawa.

Setelah semua mateng yang tersdia sia santap, mereka pun makan bersama.

"Kok sudah makan malah ngantuk ya?", Rido menguap. "Tidur ah....", Rido beranjak menuju tenda meninggalkan ketiga temannya.

"Huh dasar SMK lu! Sudah Makan Kabur!", Diki menggerutu sambil matanya melihat ke arah Rido yang berjalan tanpa komentar.

"Yaudah Mel, kalo lu ngantuk, tidur saja sama Laras! Kalau ada apa - apa teriak aja ya! Aku di tenda sebelah sama Rido", kata Diki kepada Meli.

"Iya Mel, yuk tidur ah! Berasa cape banget nih badan!", Laras mengajak Meli yang lagi asik mainin kayu yang terbakar.

"Oya Dik, lu juga tidur dong! Gak takut lu sendirian di luar?", Laras menatap Diki.

"Iya bentar lagi, belum ngantuk", jawab Diki.

"Ya sudah, aku tidur duluan ya! Mett malam honey!! See you ..... Jangan malam - malan tidurnya ya!", Laras dan Meli pun beranjak menuju tendanya, meninggalkan Diki yang masih mainin asap rokok yang mengepul di bibirnya.

Sesekali mata Diki melihat ke arah kampung itu. Dalam pikirannya, dia benar - benar yakin kalo tadi siang dia melihat dengan jelas bahwa kampung itu hanya hutan.

Selagi dia duduk, sesekali tengkuknya seolah ada yang meniup. Serentak Diki memegang tengkuknya dan menoleh ke arah belakang. Tapi aneh nya tak ada siapa - siapa.

Pandangannya kembali tertuju ke kampung itu. Keningnya sedikit mengerut saat dia samar - samar melihat anak - anak yang sedang pada bermain. Terlihat dari kejauhan seolah sedang bermain kelereng.

"Kok bisa ya main kelereng jam segini? Ini kan hampir jam 12 malam. Aneh, kenapa orang tua pada membiarkannya ya?", gumam Diki yang terheran - heran.

Perlahan Diki berdiri dan tak melepaskam pandangannya. Entah ada tarika apa sehingga dia seolah berasa terhipnotis ingin melihat lebih dekat. Langkah demi langkah terayun pelan, sedikit demi sedikit mendekati pagar yang mengelilingi kampung itu.

Hingga sampailah Diki di balik pagar. Pandangannya pun terus memperhatikan anak - anak itu. Tiba - tiba terlihat di salah satu rumah, seorang wanita lagi asik menyisik kutu di kepala teman wanita satunya lagi, layaknya ibu - ibu kampung yang lagi ngerumpi di siang hari sambil duduk - duduk di depan rumah.

"Astaga! Kok bisa ya?", Diki merasa heran, kenapa di tengah malam di kampung ini kaya di waktu siang hari?.

Kemudian dia dikagetkan dengan penglihatannya lagi. Dia melihat seorang kakek tua yang sedang mengeluarkan kambing dari kandang dan menggiringnya seolah akan mau pergi mengembala. Dan tepat dihadapannya juga terlihat ada seorang ibu - ibu sedang menyapu dihalaman rumahnya dengan menggunakan sapu lidi.

Sesaat ibu itu berhenti menyapu. Dia terdiam, rupanya si ibu itu merasakan kehadiran seseorang yang sedang memperhatikan nya. Serentak ibu - ibu itu menoleh ke arah Diki.

Diki merasa kaget luar biasa. Muka ibu itu pucat pasi, matanya melotot tajam. Diki pun mundur beberapa langkah untuk menjauh dari pagar, kemudian membalikan badan dan lari ke arah tenda.

Begitu masuk ke dalam tenda, dia tidak melihat adanya Rido. Nafasnya masih terengah naik turun.

"Loh, Rido kemana?", gumam Diki.

Kemudian dia keluar dan masuk ke tenda Laras dan Meli.

"Mel, Ras, kok Rido gaka ada kemana ya?", tanya Diki.

"Emm.... Aku ngantuk ah!", jawab Meli sambil matanya tetap terpejam.

"Mel, serius! Rido gak ada! Ras, bangun sayang! Ada yang gak beres!", ucap Diki menegaskan.

"Emangnya Rido kemana?", Meli dan Laras pun terbangun.

Mereka bertiga pun keluar untuk mencari Rido. Mereka lalu berteriak - teriak memanggil nama Rido.

"Sayang, kamu kemana sih? Kok gak bilang - bilang?", Meli pun nangis - nangis.

"Aku curiga kalo Rido pergi ke kampung itu!", sambil melihat Meli dan Laras Diki berbicara.

"Kenapa kamu yakin?", Meli bertanya.

"Gak begitu yakin juga sih. Aku cuman curiga saja. Masalahnya, aku juga yang tak ingin tahu, seakan ada yang hipnotis dan menarikku untuk pergi ke sana. Apalagi Rido. Sebenarnya tadi saat kalian mandi, dia mengajakku melihat ke balik pagar kampung itu. Dia ingin tau keadaan kampung itu, tapi aku menolaknya", tutur Diki.

"Kok dia nekad sih Dik? Kan sudah tahu ada larangan masuk sana! Masih mau tahu aja! Kepo banget sih bebeb!", Meli nangis lagi.

"Ya sudah, yuk kita lihat kesana saja! Mumpung belum lama. Kita jangan membuang waktu!", ajak Diki.

Akhirnya mereka bertiga memutuskan berjalan setengah lari ke arah pagar kampung itu. Sesampainya disana, mata Meli, Laras dan Diki terbelalak. Memang benar Rido lagi berjalan ke arah pagar kampung itu. Namun anehnya, mata Rido terpejam dan kepalanya sedikit miring, seakan masih tertidur lelap.

"Rido..... Berhenti! Jangan masuk! Lu sadar Do .....!", teriak Diki.

Namun sayang sekali, Diki tak mampu menahan Rido yang membuka pagar itu dan masuk.

"Beb jangan .....! Berbahaya tau .....!", Meli teriak, nafasnya terengah kecapean karena lari mengejar Rido. Namun mereka bertiga terhenti di depan pintu pagar karena Rido terlanjur masuk.

"Dik, gimana nih? Aku gak mau terjadi apa - apa sama Rido", Meli bertanya cemas.

"Tenang Mel! Siapa tahu Rido keluar lagi. Kita tunggu disini saja", jawab Diki menenangkan. 

Mereka bertiga pun duduk di depan pintu pagar. Sudah 1 jam berlalu, namun Rido masih juga tak kunjung keluar.

Meli berdiri dan berjalan mondar - mandir sambil menggerutu cemas. "Aku gak mungkin diam kaya gini Dik! Aku gak bisa terima jika terjadi apa - apa sama Rido. Aku akan melakukan apapun demi dia. Sudah satu jam lewat Rido gak balik. "Kalau begini mau gak mau aku harus masuk menyusulnya".

"Mel, Lu harus tenang!", Diki berdiri dan menghalangi Meli yang hampir saja lari masuk ke pintu pagar. "Lu cemas? Sama! Kita juga cemas. Walau bagaimana pun, Rido teman baikku juga. Kamu harus tenang! Kita harus mencari pertolongan ke warga desa".

"Kapan Dik? Lama tau! Dari sini ke desa kan jauh!", tanya Meli.

"Iya Mel. Tapi kalau lu masuk juga, belum tentu lu bisa menolong Rido! Ingat Mel, yang kita hadapi adalah hal gaib! Hanya orang yang bikin pagar ini yang tahu bagaimana caranya. Percayalah sama aku!", Diki menegaskan.

Serentak Meli mendorong Diki hingga terjatuh. "Gak, aku harus masuk! Apapun yang terjadi, aku gak perduli! Kalau lu mau cari pertolongan, pergi saja! Itu juga kalau lu perduli sama aku dan Rido", Meli kemudian lari dan masuk ke pintu pagar yang masih terbuka.

"Mel ......!", Laras teriak. "Lu jangan nekat Mel", Laras menangis sambil tangannya membangunkan Diki yang terjatuh.

"Kenapa jadi kaya gini Dik? Aku takut mereka kenapa - kenapa!", Laras berkata dengan cemas.

"Kamu harus tenang Ras! Sebaiknya kita segera pergi cari pertolongan warga desa. Kita akan temui kuncen yang membuat pagar ini. Ayo Ras, kita pergi", tangan Diki pun memegang erat tangan Laras, kemudian mereka lari terburu - buru kembali ke tenda untuk membawa lampu senter, dan mereka pun langsung turun gunung menuju desa.

****************

Bersambung!!.... Lanjut ke Tahapan 2

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam