Seputar Cerita Horor Hantu Itu Ada "Menikahi Kuntilanak"

Awalnya Dulah bertemu dengan seorang gadis berkulit sawo matang yang mengaku bernama Siti, di tepi sebuah sungai di salah satu kawasan di lintas Bireueun, Aceh Tengah. Hingga akhirnya mereka sepakat untuk membina rumah tangga. Pesta pernikahan ditentukan, syarat utamanya, semua kegiatan harus dilakukan di malam hari.

********************

Pada suatu ketika di tahun 1830-an, Dulah menelusuri tepian sungai Peusangan, untuk mencari ikan kerling. Namun, entah mengapa sampai berhari - hari lamanya ikan itu tak kunjung memakan mata pancing pemuda berusia 18 tahun itu. Karena dia sudah berjanji kepada ibunya akan pulang setelah membawa ikan kerling besar, membuat dirinya nekad bertahan hingga menembus rimba raya.

Saat itu sudah memasuki hari ke tujuh dirinya memancing. Namun yang terjebak dengan mata pancingnya hanya ikan - ikan lain yang tidak di ingini oleh ibunya. Semua ikan itu dia panggang dan kemudian dia santap.

Wajah ibunya yang sudah tua kembali hadir. Sang ibu sangat menginginkan makan ikan keurling asam keueung. Beberapa kali Dulah mengupat kesialan atas apa yang menimpa dirinya.

Lelah mendera tubuhnya. Kemudian dia merebahkan diri di atas batu besar yang ada di pinggir ceruk sungai. Dulah tertidur nyenyak.

*********************

Ketika bangun, lamat - lamat Dulah mendengar suara perempuan yang sedang bernyanyi. Suara itu sangat merdu. Dulah membuka mata. Dilihatlah langit. Matahari sudah hampir masuk peraduan. Lembayung pun sudah nampak memerah di sebelah barat.

Kemudian dia mengalihkan pandangan nya ke arah suara. Di bawah sebatang pohon tingkeum besar, dia melihat ada seorang gadis, dengan memakai kain sarung yang di ikat sebatas atas buah dada, sedang mencuci baju. Rambutnya panjang sebahu.

"Loh kok ada seorang gadis di tengah hutan rimba begini?", tanya Dulah pada dirinya sendiri.

Awalnya dia mengira perempuan itu dedemit penjaga sungai. Bulu kuduknya berdiri. Sambil mengendap - endap dia mendekat. Sial, dirinya menginjak batu licin dan terjatuh.

Perempuan muda itu kaget. Dia menjerit. "Siapa kamu wahai lelaki asing?", tanya wanita itu.

"Tenang, jangan takut! Saya hanya seorang lelaki yang sedang memancing mencari ikan. Nama saya Dulah. Saya sama sekali tidak ada maksud untuk berniat jahat", jawab Dulah mencoba menjelaskan.

Perempuan itu tetap memandang pandangan curiga. "Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak!", katanya mengancam.

Dulah menghentikan langkahnya. "Aneh, masa ditengah rimba begini ada perempuan cantik seperti kamu? Pasti kamu dedemit ya?", tanya Dulah.

"Asal aja kamu ini kalau ngomong. Kok bilang rimba? Lihat tuh, jejeran rumah itu! Itu adalah kampungku!", jawab gadis itu sambil menunjukan sebuah perkampungan.

"Aneh! Kok dari tadi aku gak melihat ada perkampungan disini?", batin Dulah. 

"Ngapain kamu kemari? Dari mana asal mu? Aku belum pernah melihat wajahmu sebelumnya?", tanya gadis itu.

"Aku dari kampung hilir. Jauh dari sini. Maaf, bila kehadiranku mengganggu dirimu. Aku hanya sedang mencari ikan kerling. Ibuku sangat ingin memakan ikan gulai itu", jawab Dulah jujur.

"Oh, ikan kerling. Mana kailmu? Coba pasang di lubuk itu", ucap si gadis.

Dulah segera balik badan untuk mengambil kailnya yang sudah di tambang sejak tadi pagi. Dia kemudian menyerahkannya ke gadis itu. Si gadis kemudian memasangnya di sebuah lubuk.

Tidak lama kemudian kail itu di tarik kuat - kuat oleh sesuatu. Dulah nampak gembira. Dalam sekali sentakan, se ekor kerling sebesar paha manusia dewasa terangkat dari dalam air.

"Alhamdulilah. Luar biasa", kata Dulah kegirangan.

"Sekarang pulanglah! Hantarkan ikan ini ke ibumu! Dia pasti sudah berhari - hari merindukan ikan ini", kata gadis itu sambil tersenyum.

"Terima kasih atas semua jasamu wahai gadis cantik. Siapa namamu?", tanya Dulah.

Gadis itu nampak tersipu. Wajahnya bersemu merah.

"Siapa namamu wahai Cempaka Madu?", tanya Dulah. 

"Siti", jawab gadis itu.

Usai menjawab itu, si gadis tersebut langsung bergegas pulang. Sebelum dia melangkah dari sungai, Dulah bertanya, "Bolehkah aku kembali kesini pada kesempatan lain?".

"Boleh saja, asal mau menjaga sopan santun", jawab Siti dengan tersenyum. Kemudian pamit.

******************

Pertemuan dengan Siti membuat Dulah seakan susah untuk tidur bermalam - malam lamanya. Bila rindu hendak bertemu, dia akan duduk di tepian sungai. Dulah meniup seruling bambu. Irama buluh perindu mengalir mengikuti aliran.

"Duhai juwita di hulu peusangan. Betapa hati hamba merindukan akan sosok dirimu. Bilakah rasa ini diperkenankan, bolehkah aku menemuimu sekali lagi? Sungguh batin ini telah merana. Kini hanya kembangmu ada di sanubariku", ungkap Dulah.

Hingga suatu malam yang penuh siraman cahaya purnama, Dulah nekat menyusuri tepian peusangan. Dua hari kemudian, menjelang maghrib dia tiba di tempat yang di tuju.

Jodoh memang takkan kemana, begitulah umpama yang tepat. Siti sedang mandi seorang diri. Dulah sempat berpikir nakal. Dia hendak mengintip, namun suara Siti membuat untuk membatalkan niat murungnya itu.

"Jangan nakal! Jangan melihat sesuatu yang belum boleh engkau lihat!", katanya sambil membilas rambutnya dengan air jeruk purut.

"Kok kamu bisa tahu kehadiranku?", tanya Dulah.

"Bau tubuhmu saja aku sanggup mengendusnya", jawabnya sambil tersenyum.

Tanpa terasa mereka mengobrol sekian lama, hingga Dulah ingat bahwa waktu sudah memasuki larut malam.

"Eh, aku lupa. Bilakah nanti orang tuamu mencari dirimu, atau orang kampung menemukan kita, apakah yang akan terjadi?", tanya Dulah.

"Ibu dan bapak sedang ke takengon menjumpai keluarganya yang sedang mendapat musibah. Sedangkan penduduk kampung di sini, semuanya sudah terlelap di peraduan masing - masing. Aku sangat paham dengan kondisi penduduk di sini", tutur kata Siti.

"Siti, semenjak aku bertemu dengan dirimu, sebenarnya aku tidak ingin kembali lagi ke halaman kampungku. Ada semacam perasaan aneh di dalam hatiku", kata Dulah.

"Mulai deh. Apakah malam ini cukup dingin sehingga membuat perasaan anehmu muncul? Ah dasar lelaki hilir. Merayu pasti ada maunya", jawab Siti.

"Jangan engkau berkata demikian! Tahukah dirimu bahwa malam - malamku di hilir sana selalu gelisah memikirkan dirimu?", tanya Dulah.

"Jujur, aku jatuh cinta padamu. Bilakah purnama malam ini merestui, bolehkah aku meminangmu?", ungkap Dulah.

"Ih, kamu ya. Baru kenalan aja udah ngajak nikah?", jawab Siti.

"Daripada ku ajak kawin sebelum nikah?", kata Dulah sedikit bercanda.

"Jangan ulangi lagi kata - kata itu! Aku tidak suka!", jawab Siti ketus.

*******************

Tiga hari kemudian Dulah menemui orang tua Siti. Tidak butuh waktu lama untuk meyakinkan kedua orang tuanya itu.

"Kamu tidak perlu membawa keluargamu ke sini. Kami percaya akan ketulusan dirimu. Saya akan mengatur semuanya. Paling lambat lusa, kalian sudah bisa bersama", kata ayah Siti.

"Kok bapak buru - buru sekali? Biar saja kita bertemu dulu dengan kedua orang tua Dulah. Anak semata wayang kok mau diserahin sama orang asing?", timpal ibunya Siti dengan wajah agak cemberut.

"Tenang bu! Ini anak! Jangan panik, kedua nya kulihat sudah kadung jatuh cinta. Bila saja kita tidak beragama, mungkin keduanya sudah dalam satu bilik sejak kemarin. Kegigihannya untuk tidak menakali Siti kuhargai. Padahal 3 hari kita tidak di rumah", kata ayah Siti.

"Dulah, bapak setuju kalian berumah tangga. Kulihat ada aura ketulusan di matamu. Siti pun sudah mengatakan siap untuk menjadi istrimu. Sesuai tradisi di sini, semua proses dilakukan di malam hari setelah pukul 10. Ini syarat mutlak, tidak ada tawar menawar", katanya ketus.

******************

Syahdan, hiduplah mereka berdua dengan penuh kebahagiaan. Selama satu bulan lamanya Dulah dan Siti berbulan madu. Selain bertamu ke sanak saudara Siti, mereka juga berkesempatan berduaan di Danau Laut Tawar.

Kemanapun mereka pergi selalu di antar gerobak pedati.

Hingga pada suatu hari, Siti melahirkan. Sebelum istri tercinta melahirkan, Dulah harap - harap cemas. Namun dia bertambah cemas ketika Siti siap melahirkan dan ternyata wajah sang bayi nampak sangat mengerikan.

"Kenapa dengan wajah anak kita Siti? Kenapa wajahnya seperti ini, buruk sekali?", tanya Dulah.

Siti menunduk. Rona wajahnya seketika berubah menjadi sedih. Dia membatin, mungkin kali ini sudah waktunya tiba Dulah tahu. Kemudian dia menceritakan semuanya.

"Apa? Kamu bukan manusia? Kamu kuntilanak? Kenapa kita bisa menikah dan terlihat seperti hidup normal?", kata Dulah terkejut sejadi - jadinya.

"Entahlah. Dunia iblis sempat guncang ketika kita menikah. Namun aku mampu meyakinkan bahwa manusia dan dunia gaib bisa bersatu. Mungkin ini kesalahanku. Akhirnya aku sadar bahwa kamu takkan siap menerima kenyataan ini", jawab Siti.

"Kenapa ini engkau lakukan padaku Siti? Apa salah diriku padamu?", tanya Dulah.

"Jangan salahkan aku! Salahkan waktu kenapa mempertemukan kita? Aku tidak memintamu hadir ke wilayah ini, bahkan aku tidak pernah juga mengharapkan hal ini sebelumnya. Kau hadir bagaikan genderuwo", jawab Siti.

Dulah menangis. Apalagi ketika Siti menunjukan wajah aslinya. Dia menjadi takut luar biasa.

"Jangan takut suamiku! Walau berwujud iblis, tetapi hatiku tidak seburuk manusia. Manusia bisa saja membunuh manusia lainnya bila rahasianya terbongkar. Namun bangsa kami tidak seburuk itu", kata Siti.

"Sebagai wanita, walau dari bangsa iblis, aku tetap punya kasih sayang, apalagi kepada seorang laki - laki yang benar - benar mencintaiku secara tulus, walau setelah mengetahui kenyataan, dirinya mulai mengutuk keadaan", sambungnya.

Dulah luruh. Perasaan ngeri masih membayanginya. Doa selamat dia panjatkan berkali - kali.

"Sudahlah bang! Bila memang kita tak bisa kembali bersama, kuikhlaskan dirimu untuk pulang. Namun satu hal yang harus engkau pahami, bahwa dirimu sudah terlalu lama disini. Ibumu sudah tidak ada lagi. Kampungmu sudah berkobar dan menjadi debu saat perang antar manusia", kata Siti.

"Sudah berapa lama aku di sini?", tanya Dulah.

"50 tahun", jawab Siti.

"Begitu lamakah?", tanya Dulah kaget.

Dulah pasrah. Rasa nya baru setahun dia membina rumah tangga dengan iblis wanita itu. Ah, betapa sesuatu yang gaib telah mempermainkan dirinya.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam