Cerita Horor Terbaru Yang Bertuliskan Rumah Mbak Kasni Karya Puput Lidra Part 6

Revisi Meninggal Tanpa Disucikan Part 6

Sampai hari kesembilan, teror Mbak Kasni masih berlanjut. Pertemuan di mushola agar diadakan lagi kegiatan ronda, nyatanya tak benar - benar dilakukan. Warga yang rumahnya di utara rumah Mbak Kasni keberatan jika harus berkumpul di gardu pos kamling yang letaknya berada di selatan rumah Mbak Kasni. Mereka menolak karena harus melewati rumah tua itu. Demikian pula dengan warga yang rumahnya berada di selatan rumah Mbak Kasni, mereka keberatan jika harus berkeliling kampung dan mengumpulkan beras jimpitan sampai ke utara. Pak RT bingung. Akhirnya terpaksa kegiatan ronda ditunda lagi sampai empat puluh harinya.

Mengganti lampu jalan di sisi kiri jalan rumah Mbak Kasni sudah dilakukan di malam ke tujuh dengan memasang empat lampu. Di lompongan antara rumah Mbak Kasni dan lek Jum, di teras, di jalan kampung pas lurus dengan sumur Mbak Kasni dan dekat pagar depan. Di malam ke delapan, ke empat lampu itu tiba - tiba saja mati.

Tak beda dengan lampu di pintu makam. Sudah diganti tiga kali, dan tiga kali juga lampu itu mati. Mungkin Mbak Kasni suka gelap - gelapan, ucap kata Pak Yanto warga sekitar tempat. 

**********

Aku dan ibu duduk di depan pintu dapur, sembari nyari uban ibuku. Lek Endang juga duduk di depan pintu dapurnya sambil membersihkan sayuran kangkung. Mbah Trimo, yang rumahnya di selatan nampak berjalan pelan di jalan kecil depan rumah. Sepertinya beliau mau ke sungai. Dari dulu siapa saja orang yang lewat, selalu saja mampir sekedar duduk di teras rumah ibu. Rumah kami memang tanpa pembatas pagar. Turun dari undakan teras ada halaman selebar dua meter, lalu jalan kecil menuju sungai yang berbatasan dengan halaman rumah Mbak Kasni dan rumah Lek Jum.

"Pinarak, Mbak". Ibu bangkit berjalan mendekati rumah Mbah Trimo.

"Arep nang kali Nduk (mau ke sungai), kok ndak melu nang kuburan (kok ndak ikut ke makam?)".

"Makam mana Mbah?" aku dan Lek Endang ikut mendengarkan pembicaraan ibu dan Mbah Trimo. Apa ada tetangga yang meninggal? Kenapa kami tak mendengar pemberitahuannya dari mushola.

"Kuburane yuk Kasni". Mbah Trimo duduk di pinggir teras, menoleh ke rumah Mbak Kasni sebentar lalu menatap kembali ibu. "Kuburane jugrug, pathokan sing nggone sirah rubuh (makamnya bongkar, batu nisan yang dikepala roboh)".

"Astaghfirullah hal adzim"

Mbah Trimo sesekali lagi menolehkan kepalanya ke rumah Mbak Kasni. Matanya menerawang jauh.

"Sing urip iki sing kudu jembar ati, maringi Yu Kasni ngapuro ben padang dalane (yang masih hidup ini yang harus berbesar hati, memberi maaf kepada Mbak Kasni agar terang jalannya)". 

Ibu mengangguk - anggukan kepalanya. "Nggih Mbah, Insya Allah". 

Mbah Trimo berdiri dari duduknya. "Urip iki ora mung ngampu mangan karo ngombe, Nduk. Ojo mung nguber ridhone Kanjeng Pangeran (hidup ini tidak hanya untuk minum dan makan jangan hanya mengejar rido Allah)".

Tertatih Mbah Trimo melanjutkan jalannya ke sungai. Melewati rumah Bude Padmi, tak lagi lewat lompong Mbak Kasni. Aku dan lek Endang menghampiri ibu yang duduk di teras dengan tatapan nanar.

**********

Bapak baru pulang menjelang dzuhur. Wajahnya tampak letih, kaosnya basah berkeringat.

"Kita seperti mengulang kematian Mbah Dar", ujar bapak pada ibu di meja makan. "Hanya bedanya dulu kita takut membicarakannya karena Bude Kasni pasti melabrak tetangga yang membicarakan memedi suaminya".

Aku meletakkan gelas tanpa suara di dapur. Mendengarkan pembicaraan bapak dan ibuku. Waktu Mbah Dar meninggal, waktu itu aku masih kecil. Aku ingat kematiannya, tapi tak tahu sama sekali tentang memedi Mbah Dar.

Jadi waktu meninggal, pasangan suami istri itu sama - sama gentayangan? Astagfirullah. Apa yang terjadi sebenarnya, kenapa semengerikan ini?.

"Siapa saja tadi di makam pak?".

"Cuma aku bu, Pak RT, Pak Kamitowo dan Pak Saleh".

"Makam yang jugrug harus di sandingi pak".

"Siapa yang mau bikin sandingan Bu? Masih untung Pak Saleh disusul tadi langsung mau datang, diuruk lagi makamnya terus nisannya ditancapkan lagi".

"Ya Allah, gitu saja Pak? Ndak ilok Pak (pamali), hanya menutup lubang kecil di makam saja ndak boleh sembarangan apalagi ini jugrug. Bobgkar berlobang besar. Ya Allah".

Tak ada suara dari ruang makan. Aku bersandar di dinding, rasanya tak percaya ada kematian semengerikan itu. Apa sebenarnya yang dilakukan Mbah Dar dan Mbak Kasni. Ibadah mereka jangan ditanya lagi. Apa arti solat mereka selama ini?.

Ampuni dosa bapa dan ibuku ya Rabb. Semoga orang tuaku menua dengan bahagia, meninggal dengan khusnul khotimah.

"Mbak", panggil Yanto di pintu dapur. Dia baru saja pulang sekolah. "Dimakam Mbak Kasni ramai".

"Sudah dari tadi". Jawabku malas.

"Tapi ini ramai lagi Mbak, tadi aku lewat sana ngantar Totok. Kuburan Mbak Kasni jugrug lagi, padahal sudah di uruk oleh Pak Saleh".

Apa?
Yaa, Allah.

Ada langkah kaki ke dapur. Bapak.

"Sekarang, Le?"

"Iya pak, cuma ada Pak Kamituwo. Katanya Pak Saleh sudah di susul tapi ndak mau datang".

"Pak RT ada disana ndak?" tanya bapak sambil bergegas keluar.

"Ndak kelihatan tadi pak" Yanto melempar tasnya ke arahku. "Bapak ke makam? Aku ikut".

Ibu masih duduk menonton tv. Aku membuka tutup saji. Mau makan, lapar.

"Yanto ikut bapak?"

"Iya," aku menarik kursi disamping ibu. "Berapa umurku waktu Mbah Dar dulu meninggal bu?".

Ibu menoleh sambil mengernyitkan dahi. "Sembilan atau delapan tahun kira - kira. Kita masih tinggal di rumah Simbah waktu itu".

"Gentayangan seperti Mbak Kasni? Mati membusuk juga?".

Ibu menatap piring didepanku, aku terus saja makan. 

"Iya, mungkin kalau zaman sekarang beliau sakit kencing manis. Kulit tubuhnya lengket di tempat tidur, tubuhnya bengkak dan melepuh".

"Bau busuk?"

"Iya karena lukanya bernanah".

"Apa yang dilakukan Mbak Kasni dan suaminya Bu? Hanya karena tak suka sama binatang?".

"Awal beliau membeli rumah Mbak Lik, sudah jelas dikatakan halaman depan rumah adalah jalan menuju sungai dan pasar. Jalan umum sekalipun itu milik pribadi. Itu sudah masih ada sejak zaman buyutmu. Tapi Mbah Dar menutupnya, di pagar keliling hingga kita tak bisa jalan ke kampung dan orang - orang harus memutar jauh jika ke sungai dan pasar. Urusan tanah itu rentan sekali, kita akan mempertanggung jawabkannya kelak ketika sudah meninggal".

"Lalu?"

"Doa - doa orang yang mereka dzalimi lebih didengar Gusti Allah. Anak kecil membawa rezeki sendiri, mereka hanya numpang main. Tak perlu diusir apalagi sampai melabrak orang tuanya. Binatang yang kesana harusnya cukup dihalau agar mereka menyingkir, tak perlu menyakiti sampai berdarah - darah dan membuat terluka hati pemiliknya. Adab bertentangga dan ridho tetangga tak pernah mereka pikirkan. Melakukan pembenaran sendiri bahwa mereka sudah beribadah dengan sempurna".

Ibu menatapku dalam. "Kenapa selama ini ibu diam, karena sesungguhnya ibu menaruh iba pada mereka. Tak ada anak yang mendoakan setelah keduanya meninggal dan tak ada amal jariyah pula. Mereka berdua orang - orang yang malang".

Aku terpekur, dadaku sesak rasanya.

**********

Makam Mbak Kasni yang dua kali tanahnya jugrug dalam satu hari, sudah dibetulkan. Pak Saleh yang memegang amanah dalam urusan pemakaman di kampung. Paginya dia sudah datang dan membetulkan makam Mbak Kasni, siangnya Pak Saleh menolak. Tak ada kejelasan kenapa ia tak mau datang, Pak RT yang menyusul ke rumahnya hanya bertemu Bu Sani istri Pak Saleh. Yang berulang kali meminta maaf jika suaminya menolak datang ke pemakaman. Entah apa yang terjadi dengan Pak Saleh, sejak itu setiap ada warga yang meninggal tak pernah lagi Pak Saleh menggali kubur.

Surup itu segala pikiran buruk yang berkecamuk dalam pikiran kami atas kejadian siang tadi. Dan semakin tak tentram hatiku ketika menyadari sejak tadi lek Jum belum datang ke rumah.

"Sudah mau maghrib, Lek Jum kok belum datang?".

"Aku juga sedari tadi tak melihatnya Bu, ada ramai - ramai kuburan Mbak Kasni bongkar sepertinya Lek Jum juga tidak keluar rumah". 

Kami saling pandang, terkejut dengan pikiran yang sama. Jangan sampai terulang dua kali.

Terpopoh ibu kerumah Lek Jum. Panik aku memanggil Yanto dan bapak. Bersama kami menggedor pintu rumahnya. Suara kami yang berteriak memanggil Lek Jum membuat Bude Padmi dan Lek Endang keluar.

"Dikunci pintunya?" tanya Bude Padmi gusar. "Lewat belakang saja, kalau diselot langsung di jejek wae".

Beriringan kami lewat samping rumah Pakde Sentot, karena tak ada yang berani lewat lompongan Mbak Kasni. Ternyata pintu dapur tidak di kunci. Kami masuk dan melihat dapur yang berantakan.

Aku menemukan Lek Jum dikamarnya, di atas tempat tidur. Selimut menutupi kaki sampai kepalanya. Saat ibu menyibak selimutnya, dengan kuat Lek Jum mempertahankannya. Mereka saling tarik menarik.

Tubuh Lek Jum menggigil, ketika ibu berhasil menarik selimut yang menutupi kepalanya, nampak wajah Lek Jum seputih kertas, mata memerah dan bibir membiru.

Kami menangisinya, dan menggotong tubuh dingin itu ke rumah ibu.

"Kenapa Jum?"

"Ada apa?"

Tak ada satupun dari pertanyaan kami yang ia jawab. Mulutnya terkatup rapat. Matanya terpejam erat.

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam