Berbagi Cerita Horor Yang Dibuat Sesuai Dengan Pengalamannya Yaitu "Nayla Dan Sosok Malaikat Yang Bernamakan Akira"

Kisah Rin Bersamaan Datangnya Sosok Malaikat Yang Bernamakan Akira

Namaku Nayla. Umurku 15 tahun. Hobiku bermain game. Kegiatanku sehari - hari hanya pergi ke sekolah, pulang dari sekolah, makan, main game, belajar, tidur ...... dan seterusnya.

Menurutku, kehidupanku sama normalnya dengan jutaan anak SMA lain di Indonesia. Tidak ada yang istimewa. Keluargaku normal, aku anak tunggal, ayah dan ibuku masih lengkap, dan aku memiliki banyak teman di sekolah, bahkan kami juga sering belajar bersama atau main bareng ke sesuatu tempat, yang intinya semua yang kualami setiap harinya benar - benar biasa saja.

Suatu hari sepulang sekolah, aku bertemu malaikat kematian yang duduk dengan santai di ambang jendela kamarku. Dengan sayap sehitam burung gagak terlipat di punggungnya. Dia tersenyum dan mengedipkan salah satu matanya hitam kelamnya kepadaku.

Sebenarnya saat itu aku tidak tahu kalau dia adalah malaikat kematian. Namun sekarang aku sudah tahu. Dengan selang - selang dan berbagai alat bantu yang menempel di hampir sekujur badanku, di rumah sakit, Akira akan mengantarkanku kepada kematian. Akira mengeluarkan tongkat baja dengan ujung yang ditempeli besi melengkung seperti pedang besar. Pedang besar yang penuh dengan bercak darah.

"Seharusnya aku sudah bisa menebak dari awal, ya". Aku tertawa kecil, sambil membuang muka ke arah jendela di samping ranjang, melihat ujung lidah sinar matahari yang mulai terbit. Ia sendiri sedang berdiri di satu sisinya sambil memegang tongkat tersebut.

Aura abu - abu di sekitarnya berkelip sedikit, mungkin ia agak tersinggung karena aku tidak mau menatap wajahnya.

"Seharusnya aku sudah tahu sejak pertanyaan pertamamu". Kataku lagi, kali ini sambil menatap langit - langit kamar rumah sakit.

Mengingat pertemuan pertama kami, pemuda itu tiba - tiba bertanya, "Apa keinginan terbesarmu Rin?". Dengan satu gerakan yang tidak dapat kulihat, tiba - tiba juga, dia sudah berdiri di hadapanku.

Terhuyung mundur beberapa langkah, aku bisa merasakan kepalaku agak pusing. Apa - apaan ini? Pesta kostum? Aku hanya bisa merespon pertanyaannya dengan, "Apa ini? Sinterklas punya anak buah baru?".

Warna abu - abu yang mengelilingi sekitar seluruh tubuhnya berkedip, berubah menjadi sedikit lebih cerah. Dan pemuda itu tertawa.

"Ah, dulu Sinterklas memang pernah ada. Dia kakek tua yang penuh semangat. Menyibukan diri membuat berbagai hadiah untuk anak - anak di sekitar rumahnya sampai kematian menjemputnya. Ternyata sampai sekarang ia masih menjadi legenda di dunia manusia, ya?"

"Saat itu dengan bodohnya aku berfikir kalau kau hanya membual", aku tersedak, seperti ada sesuatu yang menyumbat tenggorokanku. Kau membicarakan Sinterklas! Siapa sangka saat itu aku sedang berhadapan dengan malaikat kematian?".

Kali ini lagi - lagi tanpa kusadari, ia sudah berdiri di dekat jendela, menutupi ranjangku dari sinar matahari pagi yang mulai masuk.

Tongkatnya sudah hilang entah kemana. Dari tempatku berbaring, aku bisa melihat ujung sayap kirinya yang terlihat agak bengkok. Katanya dari hasil perbuatannya lima bulan lalu.

Hujan deras sudah berhenti, menyisakan gerimis dan kondisi jalanan yang basah. Aku berlari kecil ke luar sekolah, bergegas menuju rumah sebelum hujan menjadi deras kembali, lagi pula hari sudah gelap. Aku tidak membawa payung atau apapun yang bisa melindungiku dari tetesan - tetesan air, jadinya malah aku terjebak di sekolah selama tiga jam. Mendesah keras, aku membayangkan sayap lebar milik Akira yang mungkin bisa melindungiku dari gerimis ini, Akira. Nama malaikat yang sebulan lalu se enaknya bertengger di jendela kamar rumahku. Meski begitu tetaplah ia merupakan seorang malaikat.

Pasti. Makhluk apa lagi yang memiliki wujud manusia dengan tambahan sayap di punggungnya? Bayangan tentang malaikat, makhluk yang selama ini kubayangkan sebagai sosok magis dengan tingkah laku mempesona, dihancurkan dalam sekejap mata oleh Akira. Sebagai sosok malaikat, Akira benar - benar banyak bicara dan suka mengejek. Satu - satunya yang mengesankan darinya adalah sayap hitamnya yang luar biasa besar jika di rentangkan. Sebenarnya aku juga menganggapnya sangat tampan, apalagi dengan mata hitam kelamnya. Namun, tentu saja, aku tidak akan menyebutkan kelebihannya yang satu itu didepannya.

Sejak pertemuan pertama kami, ia jadi sering menemaniku. Aku seharusnya takut, tapi anehnya aku malah merasa nyaman.

Aku suka ketika ia tiba - tiba muncul di samping meja belajarku saat aku mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah), lalu ia akan duduk di ranjang dan ikut membuka buku - buku pelajaranku, menanyakan berbagai hal, tentang apapun yang ada dalam buku tersebut. Sesekali ia akan menggunakan kekuatannya untuk menyemangatiku jika tugas sekolahku menumpuk. Entah itu memperlebar jendela kamarku dan membuat bintang - bintang di langit malam menjadi dua kali lebih besar dan berkilau, "hanya bisa dilihat dari jendela kamarmu, tenang saja". Jawabnya santai saat aku panik memikirkan reaksi orang - orang ketika melihat ukuran bulan dan bintang yang tidak wajar, atau turunnya sebuah salju didalam kamarku (yang bisa menghilang beberapa milimeter sebelum menyentuh benda - benda didalam kamar, walau masih bisa kusentuh, jadi aku tidak perlu repot - repot membersihkan).

Sebagai ganti atas hiburannya, aku sesekali mengajaknya berjalan - jalan sambil mengobrolkan banyak hal, atau membuatkannya kue - kue. Malaikat sebenarnya tidak perlu makanan, tapi Akira sangat menyukai kue - kue buatanku. Ia akan duduk di kursi dapur, menemaniku membuat kue dan kami akan memakannya bersama di kamarku sambil membaca buku atau menonton film. Akira selalu datang se enaknya sendiri, bahkan ia pernah mendatangiku di kantin sekolah! Untungnya, hanya aku yang bisa melihat Akira.

Saat itu aku masih tidak tahu kenapa otakku terlalu sibuk memikirkan Akira, jadi tanpa sadar aku menyebrang jalan tanpa melihat kanan atau kiri terlebih dahulu. Tiba - tiba dengan sontaknya suara klakson mobil memasuki telingaku, dan baru di respon oleh otak bodohku beberapa detik lebih lambat. Apa itu? Ah, suara klakson mobil. 

Menoleh ke kanan, aku sudah berhadapan dengan sinar lampu mobil yang membutakan mata. Alih - alih mendengar suara derakan tulangku yang terhantam mobil yang akhirnya merasakan sakit yang luar biasa sebelum akhirnya mati, aku malah merasakan desiran angin yang sungguh dingin membalut seluruh tubuhku, kemudian tahu - tahu aku sudah terjatuh di trotoar, beberapa meter dari tempatku berdiri sebelumnya. Sedangkan mobil yang sudah menabrakku tadi, sudah melaju meninggalkanku dengan kecepatan tinggi. Nafasku menderu, dan tanganku tidak bisa berhenti gemetar.

Apa yang baru saja terjadi? Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tidak ada siapa - siapa disekitarku. Aku baru tahu siapa yang menyelamatkanku ketika ada sehelai bulu yang terlihat seperti bulu burung, namun ukurannya hampir sebesar separuh lenganku yang berwarna hitam pekat yang jatuh tepat di pangkuanku.

Bersambung ..........

Comments

Popular posts from this blog

Cerita Horor Kejadian Suster Gepeng di Rumah Sakit Soetomo di Daerah Surabaya

Mengungkap Sebuah Misteri Yang Menjadi Perbincangan Pantai Garut Selatan

Kisah Nyata Yang Berasumsi Main Dukun/Ilmu Hitam